NTB EXPOSE. Lombok Tengah – Terkait penahanan salah seorang anggota Persatuan Olahraga Selancar Ombak (PSOI) Lombok Tengah oleh Kepolisian Resort Lombok Timur, Ketua Solidaritas Warga Inter Mandalika (SWIM) Lalu Alamin dan Ketua PSOI Lombok Tengah, Damar, melalui pres rilisnya kepada media Senin (5/6) mereka secara bersama-sama menyampaikan hal-hal sebagai berikut. Pertama : Peristiwa dugaan penganiayaan ini bermula dari perilaku terduga korban yang membahayakan peselancar lain di tempat kejadian.
Hal ini membuat terduga pelaku mengingatkan kepada terduga korban untuk berhati-hati dan menghormati peselancar lain. Peringatan tersebut justeru ditanggapi kata-kata kasar oleh terduga korban yang bahkan mengklaim bahwa kawasan itu adalah miliknya sehingga berujung terjadinya dugaan pemukulan.
Dari latar belakang, tempat kejadian dan rangkaian peristiwa, maka menurut hemat kami, peristiwa ini tidak dapat dilihat sebagai sebuah tindak pidana penganiayaan murni karena peristiwanya terjadi dalam konteks kegiatan olahraga.
Peristiwa ini memang tidak terjadi di dalam sebuah kontes/pertandingan resmi tapi aturan dan ketentuan-ketentuan di dalam cabang olahraga selancar tetap berlaku. Kita dapat menganalogikannya dengan sebuah pertandingan sepak bola.
Ketika terjadi pertikaian antara pemain yang disebabkan oleh salah satu pihak melakukan kecurangan dan pelanggaran (foul play and misconduct) maka tidak lumrah bagi kepolisian untuk intervensi ke ranah tersebut.
Kedua : Salah satu hal yang juga patut menjadi perhatian dalam kasus ini adalah keberadaan seorang konsultan hukum berkewarganegaraan asing bernama Aishah Mohamed yang menjadi kuasa hukum terduga korban. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, seorang advokat asing wajib memperoleh ijin kerja dari Menteri Ketenagakerjaan dan hanya dibatasi untuk menangani bidang hukum tertentu seperti hukum dari negara asalnya ; dan/atau hukum internasional di bidang bisnis dan arbitrase serta penyelesaian sengketa di luar pengadilan lainnya. Advokat asing juga masih dilarang berpraktik di depan pengadilan.
Dari background check, kami mendapatkan informasi bahwa pihak yang mengaku sebagai kuasa hukum terduga korban adalah seorang warga negara Singapura. Maka bila merujuk ketentuan di atas maka sudah jelas bahwa yang bersangkutan tidak memiliki legal standing untuk menangani kasus ini karena kasus ini berada di ranah hukum Republik Indonesia, bukan hukum Singapura sebagai negara asal yang bersangkutan.
Perkara ini juga jelas tidak termasuk dalam kategori hukum internasional di bidang bisnis dan arbitrase sehingga tidak ada ruang bagi advokat berkewarganegaraan asing untuk menangani perkara ini.
Ketiga : Pernyataan Aishah Mohamed di sebuah media online bahwa di luar sana kasus ini menjadi sorotan para investor dan menunggu bagaimana tindakan pihak kepolisian dan Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Timur terhadap kasus ini, adalah sebuah pernyataan yang berlebihan dan merupakan sebuah upaya intimidasi terhadap proses yang sedang berjalan.
Terkait hal ini, ketua SWIM menyampaikan : “Investor tidak ada waktu untuk memberi perhatian khusus terhadap kasus orang pribadi di luar urusan bisnis. Demikian juga halnya dengan Pemerintah Daerah Lombok Timur yang tidak memiliki kewenangan untuk masuk ke ranah ini kecuali apabila kasus ini mencuat sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari sebuah kebijakan daerah. Jadi pernyataan yang bersangkutan hanya upaya untuk menekan dan menakut-nakuti pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.”
Keempat : Penanganan oleh Polres Lombok Timur tidak professional. Melalui sebuah release di sebuah media online disebutkan bahwa terduga pelaku adalah Orang Tidak di-Kenal (OTK). Motif penyebutan terduga sebagai OTK patut dipertanyakan karena terduga sudah ditahan dan proses penahanan terduga adalah melalui pemanggilan kepolisian. Artinya identitas terduga pelaku by name by address sudah sangat jelas.
Penyebutan terduga sebagai OTK dapat dipahami seandainya terduga masih belum diketahui dan saksi-saksi tidak bisa memberikan petunjuk secara langsung. Kami curiga motif penyebutan terduga pelaku sebagai OTK hanya bertujuan menegasi terduga pelaku dari hak-hak hukumnya. Ini jelas penanganan yang tidak adil dan tidak professional dari pihak Polres Lombok Timur.
Dari sisi administratif pun penanganan kasus ini tidak professional. Pihak penyidik Polres Lombok Timur bahkan tidak bisa menunjukkan surat kuasa atau surat penugasan terduga korban kepada kuasa hukumnya.
Terkait hal ini, Ketua PSOI Lombok Tengah juga menyampaikan : “Baik dari sisi legalitas maupun administratif, orang yang mengaku sebagai kuasa hukum terduga korban jelas tidak memiliki legal standing. Maka pihak yang lebih layak disebut OTK dalam kasus ini adalah kuasa hukum terduga korban.”
Kelima : Mempertimbangkan latar belakang peristiwa dan pertimbangan-pertimbangan lain di atas, maka Solidaritas Warga Inter Mandalika (SWIM) dan Persatuan Selancar Ombak (PSOI) Lombok Tengah berharap agar Kepolisian Resort Lombok Timur segera menempuh langkah-langkah untuk memfasilitasi penyelesaian melalui keadilan restoratif non litigasi. Hal ini akan berdampak positif secara khusus terhadap hubungan baik para pihak di masa mendatang dan secara umum akan mencitrakan kawasan sebagai daerah yang aman dan kondusif untuk pembangunan dan investasi.(Ntbexpose/03)